Cara Menyikapi Tagar Jokowi 2 Periode agar Tidak Terjebak Pemikiran Biner

Menuju Pilpres 2019, situasi semakin memanas. Kedua kubu saling menyuarakan aspirasinya lewat berbagai media. Tak pelak, muncul pula tagar Jokowi 2 Periode, Prabowo-Sandi, PAS, dan sebagainya. Situasi tersebut rupanya memantik pemikiran biner di kalangan masyarakat. Apakah pemikiran biner itu?

Sederhananya, pemikiran biner adalah suatu pemikiran yang hanya memiliki 2 arus utama. Misal hitam-putih, like-dislike, friend-unfriend, dan kecebong-kampret. Padahal, kemungkinan lain yang lebih kondusif untuk bersuara masih ada. Tapi belakangan ini  pemikiran logis semakin dianak-tirikan. Bagaimana cara menyikapinya?

Tingkatkan Citra yang Positif

Siapa pun, baik yang berada di balik tagarJokowi 2 Periode” atau “2019 Ganti Presiden”, harus mengubah strateginya agar tidak menjebak masyarakat dalam pemikiran biner. Misalnya dengan menonjolkan konsep, visi-misi, serta beragam gagasan untuk membangun negara. Khususnya yang berkenaan erat dengan sila Pancasila maupun UUD ’45.

Dengan kata lain, hatespeech sebaiknya dikurangi. Politik demokrasi tidak melulu soal mengkritik “secara bebas” terhadap laku lawan. Alangkah baiknya jika kolaborasi antara dua kubu perlu ditingkatkan. Sebab, imbas dari Pilpres 2019, bukan tentang kalah-menang, tetapi siapa yang berhak membangun negara untuk 5 tahun ke depan.

KPU dan Bawaslu Sudah Waktunya Ambil Peran

Tugas oknum di balik KPU serta Bawaslu sebaiknya tidak hanya sebagai pengawas. Bahkan bisa lebih dari itu, yakni dengan berusaha menjaga situasi jelang Pilpres 2019 agar tetap kondusif. Demokrasi yang mulai condong ke arah pemikiran biner harus disatukan kembali. Setiap elemen harus kembali bergerak secara harmoni dan bahu-membahu, bukan serang-menyerang.

Pihak Kepolisian Harus Bersikap Netral

Memang, perihal pilihan calon Presiden untuk lima tahun ke depan menjadi hak setiap masyarakat. Akan tetapi, sebagai bagian dari kepolisian, wajib tetap menjaga peran yang serba-netral. Tidak boleh memasuki, bahkan menggunakan tagartagar provokatif. Kondisi yang mulai tidak stabil wajib ditertibkan agar Pilpres 2019 nantinya bisa berjalan lancar.

Tingkatkan Porsi Intelektualitas bagi Para Pemilih

Hadirnya beragam kemudahan seperti akses media, selancar di dunia digital, dan bersuara via jejaring media sosial seharusnya menjadi aset penting untuk menyampaikan aspirasi positif. Bukan justru memanas-manasi situasi. Akibatnya, kejadian buruk di berbagai daerah pun terjadi. Misalnya persekusi, pengucilan, serta aktivitas tuduh-menuduh yang makin liar.

Pihak pemerintah wajib untuk selalu mengedukasi para calon pemilih agar menjadi warga negara yang baik. Toh kampanye positif ini bisa ditularkan lewat program literasi digital. Tanpa memerlukan banyak biaya dan sangat efektif. Memang dibutuhkan netralitas. Jadi, wajib berperan sebagai pendidik, bukan pendoktrin. Biar korban hoax bisa dikurangi.

Dorong Masyarakat agar Tetap Logis sebagai Pemilih

Munculnya beragam tagar dan meme yang saling “serang” hanya menimbulkan situasi yang genting. Calon pemilih hanya bersuara sesuai dengan emosinya. Tidak lagi berdasarkan logika. Kalau tidak menjadi pemuja, maka akan menjadi penghujat. Begitu yang terjadi sekarang. Tidak heran jika yang memilih golput pun meningkat.

Pilihan yang berbeda itu bukan berarti dicap sebagai musuh. Ini sama halnya dengan seorang anak kecil yang satu suka tempe, satunya lagi suka tahu. Jangan karena suka tempe, lalu pihak penyuka tahu menyerangnya. Sebab, tahu dan tempe sama-sama dibuat dari satu bahan, yakni kedelai. Memang perlu waktu untuk kembali kondusif, tapi bukan berarti mustahil.

Lantas, siapa yang bertanggung-jawab terhadap situasi yang kurang kondusif saat ini? Setiap elemen masyarakat Indonesia. Baik yang berada di balik tagar Jokowi 2 Periode maupun 2019 Ganti Presiden. Sebab, kondisi saat ini akan mencerminkan wajah dari kondisi Pilpres di masa mendatang.